Saat Dunia di Tepi Jurang, Kompas Wasathiyah Arahkan Indonesia
Home/Uncategorized / Saat Dunia di Tepi Jurang, Kompas Wasathiyah Arahkan Indonesia
Saat Dunia di Tepi Jurang, Kompas Wasathiyah Arahkan Indonesia

Oleh : Iwan Setiawan

Pilihan sulit kini ada di depan mata setiap negara. Ketika Washington menyokong penuh aksi militer Israel, dan di seberang sana poros tandingan yang digalang Rusia dan Tiongkok mulai mengeras, dunia seakan ditarik ke dua kutub ekstrem. Banyak negara, terutama di kawasan berkembang, merasa tak punya pilihan selain terseret arus, menjadi bidak dalam permainan catur kekuatan besar. Mereka dipaksa memihak, entah karena ketergantungan ekonomi atau tekanan politik.

Di tengah situasi yang kian genting ini, Indonesia tidak bisa dan tidak boleh sekadar menjadi penonton yang reaktif. Sejarah dan DNA diplomasi kita memberi bekal untuk menempuh jalan yang berbeda. Sebuah jalan yang tidak hanya bertujuan untuk menyelamatkan diri, tetapi juga untuk menawarkan solusi. Landasan bagi jalan ini tertanam kuat dalam jati diri bangsa: Islam Wasathiyah.

Selama ini, Islam Wasathiyah—Islam Indonesia dan Islam kawasan lain yang mendunia dengan wawasan wasathiyah, moderat dan tengahan—seringkali hanya dilihat sebagai konsep sosial-keagamaan untuk menjaga kerukunan di dalam negeri. Padahal, dalam konteks global yang membara saat ini, ia adalah sebuah cetak biru kebijakan luar negeri yang relevan dan canggih. Ia adalah kompas yang dapat memandu Indonesia untuk bertindak sebagai subjek yang menentukan arah, bukan lagi objek yang terombang-ambing.

Sikap Tegak di Tengah Tarikan

Bagaimana cara kerjanya? Pertama, Wasathiyah mengajarkan prinsip Al-I'tidal (lurus dan adil) serta At-Tawazun (keseimbangan). Dalam praktik diplomasi, ini berarti menolak untuk tunduk pada salah satu blok. Sikap ini bukanlah netralitas yang pasif dan tak acuh. Justru sebaliknya, ini adalah sikap tegak yang aktif, yang berpihak hanya pada satu hal: hukum internasional dan keadilan.

Artinya, Jakarta bisa mengutuk agresi militer tanpa harus ikut dalam poros anti-AS, sambil tetap menjaga komunikasi terbuka dengan Washington untuk membahas isu strategis lainnya. Di saat yang sama, Indonesia bisa menjalin kerja sama ekonomi dengan Tiongkok tanpa harus menelan mentah-mentah agenda geopolitik Beijing. Inilah seni diplomasi keseimbangan yang dinamis, sebuah kelincahan yang didasarkan pada prinsip yang kokoh untuk melindungi kepentingan nasional (Al-Muwathonah).

Dari Reaksi Menjadi Inisiatif

Selama ini, negara-negara berkembang terlalu sering hanya bisa bereaksi terhadap langkah yang sudah diambil negara-negara besar. Kerangka Wasathiyah mendorong perubahan fundamental dari sikap reaktif menjadi proaktif, sesuai dengan prinsip Al-Islah (perbaikan) dan As-Syura (musyawarah).

Langkah konkretnya? Indonesia harus berhenti bersuara sendirian. Sudah saatnya Indonesia memelopori terbentuknya "koalisi negara-pemikir serupa"—sebuah poros non-blok gaya baru yang terdiri dari negara-negara seperti Brazil, Afrika Selatan, Turki, Malaysia, dan lainnya yang sama-sama resah dengan polarisasi global. Koalisi ini bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang nyata, mengajukan proposal resolusi damai di PBB, dan membuka jalur belakang diplomasi yang tidak bisa dimasuki oleh negara-negara besar yang terkunci dalam ego mereka.

Selain itu, narasi yang dibangun harus cerdas. Fokus utama perjuangan bukanlah sentimen agama, melainkan penegakan hukum internasional atas pendudukan wilayah Palestina. Dengan membingkai isu ini dalam kerangka hukum, Indonesia dapat merangkul lebih banyak negara di luar dunia Islam dan mendelegitimasi argumen pihak-pihak yang gemar menggunakan dalih agama untuk membenarkan agresi.

Kekuatan Teladan sebagai Senjata Utama

Di dunia yang penuh standar ganda, menjadi contoh yang baik (Al-Qudwah) adalah sebuah kekuatan. Inilah soft power terbesar Indonesia. Ketika negara lain terpecah oleh konflik internal, Indonesia dapat menunjukkan pada dunia sebuah model masyarakat Muslim terbesar yang demokratis dan relatif harmonis.

Pemerintah perlu memberdayakan "diplomat non-negara" kita. Organisasi seperti Muhammadiyah memiliki jaringan dan kredibilitas global yang luar biasa. Biarkan mereka yang berbicara di forum-forum antaragama dan masyarakat sipil dunia. Suara mereka seringkali lebih didengar dan dipercaya daripada pernyataan resmi pemerintah. Ini adalah cara elegan untuk menyebarkan nilai toleransi (At-Tasamuh) dan menunjukkan bahwa ada jalan lain selain ekstremisme.

Bukan Pilihan Mudah, Tapi Pilihan Jati Diri

Tentu, jalan ini tidak mudah. Tekanan diplomatik dan ekonomi akan datang dari segala arah. Namun, pilihan untuk terus menjadi objek yang mengikuti arus justru lebih berisiko dalam jangka panjang. Ia akan mengikis kedaulatan dan martabat bangsa.

Menggunakan kompas Wasathiyah bukan berarti Indonesia naif. Justru sebaliknya, ini adalah realisme strategis tingkat tinggi. Ia memungkinkan Indonesia untuk lincah, berprinsip, dan relevan di tengah krisis.

Pada akhirnya, ini bukan sekadar pilihan kebijakan luar negeri. Ini adalah penegasan jati diri. Di saat dunia tampak kehilangan arah, Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan jalan, berbekal kompas yang telah teruji oleh sejarah dan berakar kuat dalam nilai-nilai luhur bangsanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *