Ada yang berbeda dari siaran pers yang terbit pada 18 Agustus 2025 itu. Di antara ratusan pengumuman kebijakan yang rutin keluar, dokumen bernomor 453/sipers/A6/VIII/2025 dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ini terasa seperti sebuah bisikan tentang masa depan. Jika kita tidak jeli, ia bisa saja terlewat sebagai berita biasa. Padahal, di dalamnya terkandung sebuah pergeseran fundamental—sebuah upaya merancang ulang cara kita membangun kecerdasan satu generasi.
Ini bukan lagi cerita tentang kurikulum baru yang dipaksakan dari atas ke bawah. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah negara besar mencoba mempersiapkan 45 ribu sekolahnya menghadapi dunia yang sudah di depan mata; dunia yang digerakkan oleh kecerdasan buatan.
Dan jawabannya, yang mengejutkan, bukanlah dengan menciptakan satu program super yang seragam. Jawabannya adalah dengan menjadi seorang dirigen.
Dari Birokrat Menjadi Dirigen Orkestra
Mari kita jujur, model pendidikan kita selama ini seringkali terasa seperti mesin fotokopi raksasa. Pemerintah membuat satu master, lalu daerah dan sekolah diharapkan mencetaknya dengan hasil yang sama persis. Kebijakan baru ini merobek manual lama tersebut. Intinya sederhana: pemerintah berhenti menjadi pemain tunggal dan mulai bertindak sebagai dirigen sebuah orkestra besar. Siapa pemainnya? Mereka adalah puluhan mitra yang namanya sudah kita kenal, yang jejaringnya sudah mengakar kuat di seluruh negeri. Bayangkan saja, dalam satu panggung yang sama, ada Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Perkumpulan Ruang Belajar Aqil, hingga raksasa global seperti UNESCO dan UNICEF. Ini, terus terang, adalah sebuah langkah jenius. Pemerintah tidak perlu susah payah membangun jalan baru ke pelosok-pelosok. Mereka cukup memanfaatkan jalan yang sudah dibangun dan dipercaya oleh para mitra ini selama puluhan tahun. Tujuannya satu: mewujudkan "Pendidikan Bermutu untuk Semua". Lagu yang akan dimainkan pun bukan lagi lagu pengantar tidur dari masa lalu. Partiturnya berisi tiga komposisi utama untuk masa depan: Pembelajaran Mendalam (PM), Koding, dan Kecerdasan Artifisial (KA). Kenapa tiga ini? Karena dunia sudah berubah.- Pembelajaran Mendalam (PM) adalah cara kita mengajar anak-anak untuk berpikir, bukan sekadar menghafal. Di zaman ketika jawaban bisa didapat dalam hitungan detik dari gawai, kemampuan bertanya, menganalisis, dan berdebat jauh lebih berharga.
- Koding bukan lagi pelajaran untuk calon programmer saja. Ini adalah bahasa baru, cara berpikir baru yang logis dan terstruktur. Mengajarkannya sejak dini sama pentingnya dengan mengajar membaca.
- Literasi Kecerdasan Artifisial (KA) adalah bekal agar generasi kita tidak menjadi korban teknologi, melainkan pengendali. Agar mereka paham bahwa di balik setiap aplikasi canggih, ada algoritma, ada data, dan ada etika yang harus dijaga.