Ledakan di Isfahan, sirene di Tel Aviv, dan rapat darurat di Washington. Apa yang kita saksikan bukan lagi sekadar episode baru dalam permusuhan puluhan tahun antara Iran dan Israel. Ini adalah gema dari pergeseran lempeng tektonik geopolitik global, sebuah drama berbahaya di mana semua pemain utama dunia kini berada di atas panggung. Dan asap dari api yang membara di Timur Tengah itu, tak bisa dihindari, mengepul hingga ke Jakarta, memaksa kita untuk bertanya: Sebenarnya, di mana posisi Indonesia dalam semua ini?
Untuk menjawabnya, kita harus membongkar tiga lapisan realitas yang saling berkelindan: perseteruan dua musuh bebuyutan, permainan para dalang di belakang layar, dan dilema Indonesia yang terjepit di antaranya.
Dua Musuh Bebuyutan, Satu Panggung Terbuka
Konflik Iran-Israel sering disebut "perang bayangan". Selama bertahun-tahun, keduanya saling serang dalam senyap. Israel, dengan intelijen dan teknologinya, dituduh melakukan sabotase fasilitas nuklir Iran dan membunuh para ilmuwannya. Tujuannya jelas: mencegah skenario mimpi buruk Tel Aviv, yaitu sebuah Iran yang memegang bom nuklir. Ini adalah strategi "memotong rumput liar sebelum tumbuh tinggi".
Di sisi lain, Iran, yang sadar tak akan menang jika beradu senjata secara frontal, memilih taktik yang lebih licin. Sejak Revolusi 1979, Teheran secara sistematis membangun "Poros Perlawanan". Mereka mendanai dan mempersenjatai proksi dari Hezbollah di Lebanon, Houthi di Yaman, hingga milisi di Suriah dan Irak. Tujuannya adalah menyebar 'duri' di sepanjang perbatasan Israel, menciptakan ancaman permanen dari berbagai arah sekaligus menegaskan status Iran sebagai pembela utama perjuangan Palestina.
Apa yang terjadi sekarang adalah momen ketika perang bayangan ini akhirnya keluar ke panggung terbuka. Topeng telah dilepas, dan kedua pihak merasa perlu untuk menunjukkan kekuatan secara langsung. Ini adalah eskalasi yang sangat berbahaya karena ia tidak terjadi di ruang hampa.
Para Dalang dan Kepentingan Mereka
Di balik layar, para dalang global memainkan peran mereka. Amerika Serikat, dalam sebuah gerakan yang nyaris sebuah refleks, langsung berdiri di belakang Israel. Dukungan ini bukan hal baru, ia adalah pilar kebijakan luar negeri AS yang ditopang oleh lobi domestik yang kuat dan kepentingan strategis untuk menjaga sekutu utamanya di kawasan. Namun, warisan kebijakan "America First" dari era Donald Trump telah mengubah lanskap. Dengan merobohkan pilar diplomasi multilateral seperti Perjanjian Nuklir Iran (JCPOA), Trump tanpa sadar telah membuka kotak pandora, membuat Teheran merasa tak punya pilihan selain mengakselerasi programnya dan bersikap lebih keras.
Kekosongan yang ditinggalkan oleh diplomasi inilah yang kemudian diisi oleh pemain lain. Muncul sebuah "poros pragmatis para penentang" yang dipersatukan bukan oleh ideologi, melainkan oleh musuh yang sama: dominasi AS. Rusia, yang hubungannya dengan Iran ditempa dalam api perang Suriah dan sanksi Barat, melihat konflik ini sebagai pengalih perhatian yang sempurna dari Ukraina. Tiongkok, sang pemain sabar, berkepentingan mengamankan jalur energi dan proyek Sabuk dan Jalan (BRI) miliknya. Beijing mungkin tidak menginginkan perang, tapi mereka tentu tidak bersedih melihat AS sibuk dan terkuras sumber dayanya di Timur Tengah. Lengkap sudah dengan Korea Utara, rekan senasib dalam isolasi internasional, yang siap menjadi pemasok teknologi terlarang.
Jadilah konflik Iran-Israel sebagai papan catur proksi bagi persaingan kekuatan global yang sesungguhnya.
Asap di Jakarta dan Dilema "Bebas Aktif"
Bagi Indonesia, konflik ini bukan tontonan yang jauh. Asapnya terasa langsung. Harga bahan bakar minyak merangkak naik, nilai tukar rupiah bergejolak, dan yang terpenting, tekanan politik dari berbagai arah mulai terasa. Pemerintah di Jakarta seolah berjalan di atas seutas tali. Di satu sisi, ada kemitraan strategis dengan Barat yang tak bisa diabaikan. Di sisi lain, ada amanat konstitusi untuk menentang penjajahan dan suara lantang umat yang menuntut keadilan bagi Palestina—sebuah sentimen yang kini berkelindan dengan narasi perlawanan Iran.
Di sinilah prinsip "Bebas Aktif" diuji hingga ke batasnya. Apakah ia masih sebuah doktrin yang relevan, atau sekadar slogan usang dari masa lalu?
Solidaritas keislaman (ukhuwah Islamiyah) untuk Palestina memang melampaui sekat mazhab Sunni-Syiah. Namun, para pembuat kebijakan di Jakarta cukup cerdas untuk membedakan antara dukungan untuk rakyat Palestina dengan dukungan untuk rezim teokratis Iran dan agenda geopolitiknya. Inilah kerumitan yang harus dihadapi: bagaimana menyuarakan keadilan tanpa terseret ke dalam perang proksi pihak lain?
Maka, jalan ke depan bagi Indonesia bukanlah memilih sisi. Memihak Washington akan mengkhianati amanat konstitusi dan suara rakyat. Memihak poros Teheran akan menjerumuskan Indonesia ke dalam konfrontasi yang bukan miliknya dan merusak kepentingan nasional yang lebih luas.
Satu-satunya jalan adalah menjadi nakhoda bagi kapalnya sendiri, bukan sekadar penumpang di kapal orang lain. Caranya adalah dengan mengubah prinsip "Bebas Aktif" dari sekadar slogan menjadi tindakan nyata. Indonesia harus memimpin negara-negara non-blok dan Gerakan Negara-Negara berkembang (GNB) untuk menjadi kekuatan penekan ketiga yang kredibel, yang terus-menerus menyerukan de-eskalasi. Di forum PBB, G20, hingga OKI, suara Indonesia harus konsisten mendorong solusi dua negara untuk Palestina, bukan karena itu adalah formula yang mudah, tetapi karena itulah satu-satunya cara untuk memadamkan api di sumbernya.
Krisis ini adalah ujian, tetapi juga sebuah kesempatan langka bagi Indonesia untuk menegaskan kembali perannya di panggung dunia: sebagai kekuatan penengah yang dihormati, sebagai suara moral dari Selatan, dan sebagai negara besar yang cukup percaya diri untuk menempuh jalannya sendiri.