Menanggapi Tulisan Thomas Djamaluddin pada
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2025/06/27/khgt-tidak-cermat-merujuk-kriteria-turki/
Penentuan awal bulan Hijriah adalah topik yang tak henti-hentinya memicu diskusi di kalangan umat Islam. Berbagai metodologi hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi hilal) telah melahirkan keragaman penentuan tanggal, yang tak jarang menimbulkan kebingungan dan perpecahan. Blog T. Djamaluddin, seorang penggiat astronomi , secara cermat menyoroti perbedaan kriteria dan potensi masalah dalam upaya unifikasi kalender global, khususnya terkait implementasi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) oleh Turki. Namun, penting untuk melihat kritik tersebut dalam konteks yang lebih luas, memahami urgensi KHGT, dan mengakui kompleksitas ilmiah serta sosiologis di baliknya.
Perspektif KHGT: Solusi untuk Kebingungan Global
Kritik terhadap KHGT seringkali berpusat pada perbedaan teknis dan kriteria hisab. Blog T. Djamaluddin, misalnya, menyoroti adanya
discrepancy antara kriteria MABIMS dan Turki, serta potensi kesalahan dalam perhitungan Diyanet Turki untuk Ramadhan 1447 H. Namun, sudut pandang ini terkadang luput dari gambaran besar:
KHGT sejatinya adalah respons terhadap "utang peradaban Islam" dalam menghadapi perbedaan waktu ibadah secara global.
Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah secara resmi mengadopsi dan mendukung KHGT. Ini bukan sekadar perbedaan metodologi hisab biasa, melainkan sebuah lompatan paradigmatik menuju
keselarasan hari dan tanggal secara global, mirip dengan kalender Gregorian yang universal. Prinsip-prinsip KHGT yang mendukung visi ini antara lain:
- Satu Zona Waktu Kalender: Menganggap seluruh bumi sebagai satu kesatuan zona kalender, menghilangkan fragmentasi zona waktu penentuan tanggal.
- Prioritas Hisab Sains Murni: Lebih mengedepankan hisab (perhitungan astronomi) yang presisi sebagai dasar penentuan, mengurangi ketergantungan pada observasi kasat mata yang terhalang cuaca atau lokasi geografis.
- Penerapan Parameter Global: Parameter astronomi yang digunakan berlaku secara universal, bahkan jika hilal hanya terlihat di satu titik di bumi.
- Menerima Garis Tanggal Internasional (IDL): Menggunakan IDL sebagai batas antara dua hari, menyediakan titik acuan yang jelas dan tidak ambigu.
Pendekatan ini berpotensi besar untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam perayaan hari-hari besar dan pelaksanaan ibadah, meminimalisir kebingungan, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.
Mengurai Kompleksitas Metodologi: Di Balik Perbedaan Hisab
Blog T. Djamaluddin dengan cermat menunjukkan adanya perbedaan hisab antara kriteria MABIMS dan Turki, serta kritik terhadap Diyanet Turki. Ini adalah poin valid yang menunjukkan bahwa ilmu falaq, meskipun berbasis sains, masih memiliki ruang untuk perbedaan interpretasi dan kriteria. Namun, perluasan diskusi dari pihak Muhammadiyah dengan Diyanet Turki memberikan wawasan krusial yang tidak selalu terungkap:
Fakta bahwa Diyanet Turki mempertimbangkan
"kepadatan penduduk di daerah yang sudah masuk tanggal baru" sebagai faktor penentu untuk menggeser tanggal, mengungkapkan adanya dimensi
sosiologis dan kemaslahatan dalam penentuan kalender. Ini bukan semata-mata kesalahan perhitungan, melainkan sebuah "metode tambahan" yang mengintegrasikan pertimbangan realitas sosial dengan data astronomi. Tentu saja, pendekatan seperti ini memerlukan transparansi dan penjelasan ilmiah yang lebih luas agar dapat diterima secara universal.
Di sisi lain, keputusan Tim Tarjih Muhammadiyah untuk tetap
konsisten dengan metode hisab hakiki mereka, meskipun berbeda dengan Diyanet, menunjukkan komitmen kuat terhadap prinsip-prinsip ilmiah yang mereka yakini. Konsistensi ini penting untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam jangka panjang. Ini bukan keinginan untuk "berbeda", melainkan dedikasi pada metodologi yang telah teruji dan dianggap paling akurat secara astronomis dalam konteks global.
Peran Sosialisasi dan Edukasi: Kunci Unifikasi
Setiap metodologi, termasuk KHGT, memiliki kekuatan dan kelemahan. Titik lemah dalam penentuan kalender seringkali muncul dari ambang batas visibilitas hilal, kondisi atmosfer, atau perbedaan kriteria ketinggian/elongasi bulan. KHGT dengan fokus pada hisab murni berusaha meminimalisir variabel-variabel ini demi keseragaman.
Namun, untuk KHGT benar-benar bisa menjadi solusi global,
sosialisasi yang masif dan terbuka adalah kunci. Umat Islam dari berbagai latar belakang, tradisi, dan mazhab perlu memahami dasar-dasar ilmiah KHGT, manfaat praktisnya, serta bagaimana ia merespons tantangan perbedaan penentuan tanggal. Dialog konstruktif antara ahli astronomi, ulama, dan organisasi Islam dari seluruh dunia akan esensial untuk mencapai konsensus dan penerimaan yang lebih luas. Edukasi yang berkelanjutan dapat menghilangkan kesalahpahaman dan membangun jembatan pemahaman.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Kalender Islam yang Lebih Terpadu
Kritik terhadap KHGT oleh T. Djamaluddin dan ahli lainnya adalah bagian tak terpisahkan dari diskursus ilmiah. Ini mendorong kita untuk terus menyempurnakan metode dan memastikan akurasi. Namun, kita juga harus mengakui bahwa
KHGT adalah upaya progresif yang menawarkan solusi fundamental terhadap masalah perbedaan kalender yang telah lama mendera umat Islam. Dengan mengedepankan hisab yang akurat dan prinsip kesatuan global, KHGT memiliki potensi untuk menyatukan umat Islam dalam ibadah dan perayaan.
Tantangan unifikasi kalender Islam memang besar, melibatkan tidak hanya perhitungan bintang, tetapi juga interpretasi syariat, tradisi, dan bahkan dinamika sosial-politik. Namun, melalui dialog yang konstruktif, transparansi metodologi, dan sosialisasi yang gencar, cita-cita kalender Hijriah yang global dan terpadu bukan lagi sekadar impian, melainkan sebuah kemungkinan yang semakin dekat.