Di sebuah ruang ujian skripsi, Rabu, 14 Mei 2025, seorang gadis muda bernama Tsabita (Bita) duduk dengan tegar, siap mempertahankan buah pemikirannya. Namun, di balik ketegarannya, ada sebuah ruang rindu yang tak terperi. Ayahnya, Arif Jamali (Pak Ayip), yang setia mendampingi, tak bisa menahan gelombang kenangan yang menyeruak, setahun silam.
Kala itu, Bita, dengan air mata yang tak terbendung dan nada yang sedikit meninggi karena campuran antara cinta, khawatir, dan putus asa, memohon kepada ibundanya tercinta, Nahar Miladi (Bu Ahang). "Ayolah Bu... Ibu harus sembuh... Ibu harus lihat aku ujian skripsi... Ibu harus datang aku wisuda..." Sebuah pinta tulus dari hati seorang anak yang mendamba kehadiran sang ibu di setiap jejak penting hidupnya, terlebih saat itu Bu Ahang tengah berjuang melawan sakit yang menderanya, yang Bita khawatirkan sebagai syaraf kejepit.
Namun, Bu Ahang, dengan kelembutan dan kekuatan jiwa yang luar biasa, menjawab dengan senyum menenangkan, "Ibu enggak apa-apa... Ibu nanti sembuh... Ibu lihat kamu ujian skripsi... Ibu datang kamu wisuda, Bit... Doakan ibu saja..." Sebuah jawaban yang bukan hanya menenangkan Bita, tetapi juga menyiratkan keikhlasan dan keyakinan seorang ibu yang cintanya tak terbatas. Pak Ayip, sang suami dan ayah, menjadi penengah bijak, menenangkan Bita untuk terus menyayangi dan memperhatikan ibunya, seraya membisikkan pada Bu Ahang bahwa rengekan Bita adalah wujud sayang terdalam, sebuah motivasi agar sang ibu berjuang untuk pulih.
Hari ini, di ruang ujian itu, Pak Ayip menatap Bita dengan bangga. Dalam hatinya, ia berbisik, "Bu, aku yakin kau datang dan kau melihat aku mengantar anakmu ujian skripsi... Dia perempuan tangguh, Bu, seperti engkau..." Ya, Bu Ahang telah berpulang, meninggalkan dunia fana ini. Namun, semangatnya, cintanya, dan doanya seolah menjelma menjadi kekuatan tak kasat mata yang memeluk Bita. Janji Bu Ahang untuk "melihat" Bita ujian, kini terasa hadir dalam setiap helaan napas dan keteguhan putrinya.
Ketangguhan Bita memang cermin dari kedua orang tuanya. Pak Ayip dan Bu Ahang, dua jiwa yang dipertemukan dan ditempa dalam kancah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Dari sanalah panggilan jiwa untuk berjuang dan mengabdi bersemi, dan kini, panggilan itu mengalir deras dalam diri Bita, yang juga aktif menapaki jejak idealisme di IPM. Sejak Jumat sebelumnya, Bita mengikuti pelatihan Taruna Melati Utama di Semarang, pulang semalam hanya untuk paginya menghadapi ujian skripsi, dan sorenya kembali lagi ke Semarang melanjutkan pelatihan. Sebuah ritme perjuangan yang luar biasa, di tengah duka kehilangan tempat bersandar.
"Anakmu sebentar lagi sarjana, Bu, dan siap melanjutkan perjuangan," bisik Pak Ayip lagi dalam hatinya, menahan haru. Kepada Bita, setelah ujian usai, untaian kata bangga dan penuh hikmah terucap, "Selamat Anakku, ini capaian bagimu... Bapak tahu bagaimana perjuanganmu menyelesaikan skripsi ini di tengah bergolaknya hatimu menahan pilu... kadang air mata... kadang gugatan pada takdir... tapi kau berhasil melawan itu semua untuk bangkit." Pak Ayip mengenang bagaimana Bita menolak menyerah pada data sekunder, bagaimana ia berburu data primer hingga ke Jakarta, demi sebuah karya yang paripurna, menyelesaikan kuliahnya dalam 3,8 tahun.
"Tapi ini baru awal, Nak," lanjut Pak Ayip, menanamkan pesan abadi. "Teruslah berusaha untuk capaian-capaian berikutnya, dan tetaplah rendah hati serta bermanfaat bagi sesama."
Kisah Bita adalah testamen bahwa cinta sejati seorang ibu, doa yang tak putus, dan nilai-nilai yang ditanamkan adalah pelita yang tak pernah padam. Ia menjadi suluh bagi langkah anak-anaknya, bahkan ketika sang ibu telah menjadi bintang di langit. Semangat juang Bu Ahang, yang ditempa bersama Pak Ayip di IPM, kini bersemi dalam diri Bita, menjadi amanah untuk melanjutkan perjuangan, menebar manfaat, dan menjadi pribadi yang tangguh, persis seperti ibundanya.
Bahagialah Bu Ahang di sisi-Nya, melihat putrinya kini siap menjadi sarjana, menjadi pribadi yang tak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kaya akan nilai dan semangat pengabdian. Dan untuk kita semua, kisah ini adalah pengingat indah bahwa warisan terbaik bukanlah materi, melainkan jejak cinta, karakter yang kuat, dan semangat untuk terus berjuang demi kebaikan. Alhamdulillah.
